Mengapa ITB Ultra Marathon

Saya mengenal istilah ultra marathon pertama kali tahun lalu, ketika mas Gatot Sudariyono mengadakan acara Charity Run 550km, demi menggalang dana bagi SOS Children’s Villages Indonesia. SOS Children’s Villages adalah organisasi sosial nirlaba non-pemerintah yang aktif dalam mendukung hak-hak anak dan berkomitmen memberikan anak-anak yang telah atau beresiko kehilangan pengasuhan orang tua kebutuhan utama mereka, yaitu keluarga dan rumah yang penuh kasih sayang.

Waktu itu saya tidak habis mengerti kok ada orang yang sanggup berlari sebegitu jauhnya. Yang membuat saya lebih tidak mengerti, ternyata mas Gatot lari dalam rangka penggalangan dana! Sambil bergurau, mas Gatot mengatakan, “Mas Hari, saya gak bisa nyumbang pakai uang, makanya saya nyumbang pakai kaki saya saja. Dengan saya berlari sedemikian jauh, mudah-mudahan setiap km yang saya jalani bisa menggerakkan para dermawan untuk membantu organisasi sosial ini”.

Deg, saya tercengang dengan jawaban mas Gatot ini. Mulia sekali niat mas Gatot ini. Dari jawaban yang rendah hati itu tersirat niat mulia untuk membantu sesama, disertai ajakan kepada masyarakat untuk peduli pada misi sosial yang ada di sekitar mereka.

Berlari untuk Beramal

Karena penasaran dengan kegiatan ultra marathon, saya minta izin ke mas Gatot untuk mengikuti kegiatan ini dari dekat. Saya ingin tahu bagaimana kegiatan ini dijalankan dengan melihat secara langsung salah satu rangkaian dari acara ini yaitu segmen lari Coast to Coast yang berjarak 230 km. Untuk segmen ini, start dimulai dari pantai selatan di daerah Cianjur, dan finish di derah Ancol, Jakarta. Luar biasa bukan, berlari sejauh itu untuk penggalangan dana!

Saya pun janjian sama mas Gatot untuk menyambutnya di checking point di Istana Cipanas. Sore sehabis sholat ashar, saya berangkat sekeluarga dari BSD menuju Cipanas, dengan harapan sekitar jam 7 malam sudah sampai di Cipanas untuk menyambut kedatangan mas Gatot yang sangat heroik itu. Apa daya, lalu lintas hari itu sangat padat. Saya terlambat hampir 2 jam. Tetapi menjelang Cipanas, saya dapat kabar dari panitia kalau mas Gatot ternyata juga terlambat. Alhamdulillah, ternyata saya tidak ketinggalan kereta. Saya masih berkesempatan melihat langsung bagaimana mas Gatot memasuki checking point Istana Cipanas. Bahkan di 1 km terakhir saya dan anak saya masih sempat berjalan beriringan dengan mas Gatot yang sudah sangat kelelahan menuju checking point Istana Cipanas.

Akhirnya malam itu saya berkesempatan melihat secara langsung bagaimana seorang anak manusia berbuat amal kebaikan dengan keringatnya. Ya, setiap tetes keringatnya mewakili semangat kebaikan yang luar biasa, semangat kepedulian yang tiada tara bagi kemanusiaan, semangat berbagi bagi lingkungannya. Semangat rahmatan lil alamin. Menjadi rahmat bagi alam sekitarnya.

Selesai berfoto bersama di depan Istana Cipanas, kami pun menuju sebuah hotel di dekat Istana Cipanas untuk mengantar mas Gatot beristirahat. Di hotel itulah saya sekeluarga bertemu istri mas Gatot yang sudah menunggu. Sambil menunggu mas Gatot mendinginkan badan, kami ngobrol dengan istri mas Gatot. Luar biasa memang keluarga ini. Misi sosial mas Gatot yang ekstrem ini didukung penuh oleh keluarganya. Istri dan anak-anak mas Gatot mendukung penuh kegiatan mas Gatot ini. Sungguh, sebuah keluarga yang kompak, keluarga yang bahu membahu dalam berbuat kebaikan.

Berlari untuk ITB?

Dalam perjalanan pulang dari Cipanas, saya ngobrol dengan istri dan anak-anak saya di dalam mobil, bahwa saya begitu mengagumi semangat mas Gatot yang luar biasa ini. Dalam usia yang menjelang 55 tahun, mas Gatot masih kuat berlari sejauh itu. Dan itu dilakukan untuk sebuah misi sosial, membantu anak-anak yang kurang beruntung. Duh, terus terang saya iri dengan kekuatan dan kebaikan yang ditunjukkan mas Gatot itu.

Untuk ikut berlari ultra marathon, jelas saya tidak mampu. Kok berlari ultra marathon, wong berlari 5 km saja belum tentu saya sanggup. Tetapi saya tidak mau berhenti sampai di situ. Bukankah saya masih bisa mencontoh semangat berbuat baiknya bagi lingkungan sekitar? Walaupun kaki saya tidak sanggup berlari, bukankah tangan saya masih bisa berbuat sesuatu untuk mengajak orang lain berbuat kebaikan? Kalau mas Gatot menyumbang dengan kakinya, bukankah saya bisa melakukan hal yang sama dengan tangan saya?

Akhirnya malam itu saya berjanji untuk mengikuti jejak mas Gatot, meneladaninya berbuat kebaikan semampu saya.

Selesai mengikuti acara mas Gatot Charity Run 550K, saya teringat misi sosial yang diemban oleh Yayasan Solidarity Forever yang diketuai oleh pak Susilo Siswoutomo, ex Wamen ESDM. Yayasan yang didirikan oleh para senior alumni FTMD (Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara) ITB ini didirikan untuk membantu mempertahankan keunggulan ITB sebagai perguruan tinggi terbaik di Indonesia dan mendukung misi ITB sebagai entrepreneurial university. Yayasan ini mendedikasikan dirinya untuk membantu meningkatkan mutu pendidikan dan riset di FTMD, sekaligus mendekatkan FTMD dengan dunia industri untuk mendukung tujuan besar FTMD sebagai Kampus Generasi Ketiga (Third Generation University). Third Generation University adalah kampus yang kental dengan misi entrepreneurship.

Tentu saja menjadikan FTMD sebagai kampus generasi ketiga itu tidak mudah. Ini perjalanan sangat panjang, layaknya ultra marathon. Tetapi langkah panjang itu tidak akan berhasil kalau tidak dimulai dari sekarang. Langkah panjang itu harus dimulai dengan langkah pertama. Sebuah langkah kecil yang harus dimulai dari sekarang.

Langkah kecil itu sudah dimulai oleh Yayasan Solidarity Forever dengan mendukung civitas academica FTMD yang waktu itu berjuang keras untuk medapatkan akreditasi international ASIIN dari Jerman. Yayasan membantu penggalangan dana dari para alumni untuk membersihkan laboratorium-laboratium di lingkungan FTMD yang kondisinya saat itu cukup mengenaskan. Waktu itu laboratorium FTMD lebih terlihat sebagai museum daripada sebuah laboratorium untuk mendidik mahasiswa-mahasiswa terbaik Indonesia. Alhamdulillah langkah awal itu berjalan dengan sukses, dan kini FTMD sudah berstatus sebagai perguruan tinggi dengan akreditasi internasional ASIIN.

Setelah selesai akreditasi ASIIN, bukan berarti bantuan dana untuk FTMD bisa dihentikan. Akreditasi ASIIN itu baru langkah awal. Dengan dicapainya akreditasi internasional, bukan berarti mission accomplished. Itu baru langkah awal. Masih banyak yang harus dilakukan supaya FTMD ITB mencapai status Third Generation University. Apalagi tindak lanjut dari akreditasi ASIIN mensyaratkan FTMD mesti membuat road map jangka menengah mengenai langkah perbaikan yang akan dilakukan untuk revitalisasi seluruh laboratorium yang ada. Dan untuk itu dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Bisa puluhan milyar, bahkan ratusan milyar kalau mau ideal.

Bukankah itu tanggung jawab pemerintah? Demikian selentingan yang pernah saya dengar. Bukankah itu tanggung jawab ITB sendiri? Memang kalau mau business as usual, bisa saja ITB hanya menunggu uluran pemerintah. Tetapi apakah kita sebagai alumni ITB memang ingin ITB yang biasa-biasa saja? Bukankah kita ingin ITB yang luar biasa?

Dan karena kita sebagai alumni menginginkan ITB bisa mempertahankan keunggulannya dan bahkan terus meningkatkan mutunya, maka kami dari Yayasan Solidarity Forever pun berkomitmen untuk terus membantu ITB. Kami tidak ingin ITB yang biasa-biasa saja, dengan hanya menunggu uluran tangan pemerintah. Kami ingin ITB yang luar biasa, karena para alumninya berbondong-bondong menyingsingkan lengan bajunya membantu almamater tercintanya.

ITB Ultra Marathon – Tribute to FTMD

Mewujudkan FTMD sebagai kampus generasi ketiga adalah upaya jangka panjang. Ini membutuhkan determinasi yang luar biasa layaknya ultra marathon. Semangat ultra marathon inilah yang menginspirasi Yayasan Solidarity Forever untuk menggalang dana dengan cara-cara yang tidak biasa. Cara-cara yang merepresentasikan semangat seorang pelari ultra yang tidak saja bekerja all out dan pantang menyerah, tetapi juga melakukannya dengan riang gembira. Kami ingin menularkan semangat seorang Gatot Sudariyono yang berlari ultra untuk berbuat kemuliaan, yang dalam hal ini untuk membantu almamater ITB tercinta.

Kami ingin semua alumni berbuat yang terbaik dalam event ultra marathon ini. Kami ingin semua alumni berkontribusi sesuai dengan kemampuan masing-masing. Yang sanggup berlari, silakan berlari. Yang sanggup memberikan donasi, mari kita berikan donasi kita masing-masing. Yang sanggup mencari sponsor, mari kita carikan sponsor sebanyak-banyaknya. Mari kita gerakkan angkatan kita, mari kita gerakkan kelompok kita, untuk membantu FTMD secara all out dan pantang menyerah. Kita tunjukkan rasa terima kasih kita kepada almamater tercinta dengan berbuat yang terbaik.

Bagi yang sanggup berlari, mari kita ramaikan acara ini dengan mengikuti berbagai jenis lomba yang ada mulai dari Single 160K, Relay 80K (2 orang per tim), Relay 40K (4 orang per tim), Relay 20K (8 orang per tim) dan Relay 10K (16 orang per tim). Tiga yang pertama adalah kategori “Lomba”, sedangkan 2 yang terakhir adalah kategori “Hore”.

Segeralah merapikan barisan dari sekarang dengan membentuk tim masing-masing. Pembentukan tim ini sifatnya bebas, bisa tim perwakilan angkatan, perwakilan program studi, perwakilan kelompok, atau tim perwakilan perusahaan. Masih ada waktu sekitar 4 bulan untuk mempersiapkan diri. Lebih dari cukup untuk melakukan konsolidasi bagi pembentukan tim ini.

Dan karena event ini kami dedikasikan untuk FTMD, maka kegiatan ini kami beri nama resmi
“ITB Ultra Marathon, Tribute to FTMD”.
Acara akan kami laksanakan pada tanggal 13-15 Oktober 2017.

BSD City, 5 Juni 2017 – Hari Tjahjono (Ketua Panitia ITB Ultramarathon 2017)

1 thought on “Mengapa ITB Ultra Marathon

Leave a Reply to Teuku Adhitia Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *